SEJARAH MUNCULNYA HUKUM ADAT LIO KHUSUSNYA-LISE, MBULI DAN NDORI

Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah yang dikenal dengan sebutan hukum pribumi atau hukum tidak tertulis. Pada hakekatnya peraturan atau hukum adat di Indonesia sudah ada sejak zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu Polinesia.

Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen. Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” mengalami evolusi dan terus berkembang sejalan dengan pola dan laku manusia. Begitu pula hal ini terjadi pada masyarakat suku Lio Flores Tengah (Central Flores)

Dalam konteks hukum pribumi yang dianut oleh masyarakat suku Lio tentu mempunyai jejak sejarah teramat panjang yang perluh digalih, karena tidak ada literatur yang memadai. Kendati demikian, penulis mencoba meretas beberapa peristiwa yang berkaitan hukum adat Lio yang hingga kini masih berlaku dan bahkan dipegang teguh oleh masyarakat Lio sendiri. Pada mulanya masyarakat Lio Flores Tengah sejak jaman nenek moyang biasanya membangunkan perkampungan di lereng-lereng gunung dan dibukit-bukit tinggi (wolo), untuk mencegah datangnya bahaya dari luar seperti pencurian, perampokan dan yang terutama mengantisipasi serangan dari pihak musuh atau binatang buas. Untuk menjaga ketenteraman dalam kampung, penghuni itu biasanya hanya terdiri dari satu keturunan yang sedarah menurut keturunan bapak yang disebut “EMBU”, atau juga ada dicampur dengan keturunan anak wanita yang sedarah disebut “ANA”, yang berasal dari satu nenek.

Pada prosesnya, mereka mendayaciptakan berbagai tata tertib yang berlaku di dalam masyarakat kampung itu yakni tata tertib kekeluargaan dan sopan santun (Etika dan adab), antara kakek/nenek dengan cucu, anak dengan orang tua, saudara dengan saudari, dan semua yang menyenangkan dan digemari. Hal-hal yang berkaitan dengan norma-norma/kaida yang dipandang buruk dan tidak disukai akan ditolak oleh masyarakat itu, dan dipandang sebagai suatu bentuk kejahatan.

Seiring waktu yang terus berputar jumlah penduduk pun terus bertambah, sehingga terjadilah perkawinan menyilang dengan keturunan lain yang menetap dikampung lain. Tentu keberadaan kampung itu bertambah besar atau sudah berdiri anak-anak kampung lagi. Maka INE AME atau ATA PU’U (Mosalaki) dikampung itu merasa perluh diadakan penegasan tata sopan santun dan tata tertib untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat kampungnya itu, yang sudah menjadi kampung besar atau beberapa kampung yang terdiri dari satu kampung besar dan beberapa kampung kecil.

Untuk mengemban tugas ini, mereka memilih seseorang yang berpengaruh dan berwibawah terutama yang banyak jasahnya dari keluarga keturunan “INE AME atau “ATA PU’U/MOSALAKI” itu sendiri. Pengangkatan orang tersebut dinamakan dengan bahasa adat “WIRA NO’O WIWI RIA-REDHA NO’O LEMA BEWA”. Secara harfia, "Wira no’o wiwi ria" artinya Merobek dengan mulut besar. Sedangkan; "Redha no’o lema bewa" berarti; Tarik dengan lidah panjang. Namun kalimat “Wira no’o wiwi ria, redha no’o lema bewa memberih pemahaman yang berbeda yaitu berarti; Memberihkan dengan kekuasaan yang besar untuk menuntut dan menyelesaikan persoalan yang timbul dalam masyarakat mengenai hal-hal yang melanggar tata sopan santun dan tata tertib yang biasa berlaku dikampung itu, terutama yang dipandang buruk dan jahat oleh masyarakat itu.. Petugas yang baru ini, sekarang dikenal dengan sebutan 'Riabewa' yang menjadi penegak hukum pada wilayah hukum adat-adat Lio. Tata sopan santun dan tata tertib yang ditegakkan itu adalah;

A). Hubungan sopan santun antara cucu dengan nenek, anak-anak dengan oraang tua, pria dan wanita, kemenakan dengan mamak dll, yang berhubungan langsung antar manusia.
B). Perhatian terhadap harta milik sendiri, terhadap harta milik orang lain, keamanan dan keselamatan harta benda itu.
C). Ketaatan kepada orang tua, kepada orang yang berkuasa atau kepada orang yang mengurus/memimpin dikampung itu.

Semua penghuni dikampung itu diwajibkan mentaati semua ketentuan ini, dan bilah ada yang melanggar atau menentangnya, ia akan ditangani petugas yang disebut ‘Riabewa’. Dan bilah oleh Riabewa tidak dapat diselesaikan maka kasus itu diserahkan kepada ‘Ine ame atau ata pu’u selaku Mosalaki di kampung itu untuk menyelesaikan kasus itu bersama tua-tua adat kampung dan keluarga orang yang bersangkutan itu. Proses penyesaian ini adalah bersifat final yang tidak dapat diganggu gugat lagi.

Ketika penghuni bertambah banyak, tentu persoalan semakin kompleks sehingga sering terjadi perselisihan dalam keluarga seperti perebutan tanah garapan. Untuk mencegah hal ini, maka dibagilah tanah garapan berdasarkan kelompok keturunan menurut warisan (ahli waris) yang dibebani itu dinamakan “TEKE RIA FAI NGGA’E” yang berarti memangkuh kekuasaan atau tanggung jawab keluar dan kedalam untuk semua anggota keluarga yang satu turunan dengan dia. (disinilah titik awal munculnya hukum agraria).

Semakin banyak penghuni, semakin luas atau semakin banyak kampung-kampung dengan penghuni yang telah bercampur baur dengan keturunan lain, timbul pula bermacam-macam hal, bukan hanya pelanggaran tetapi meningkat kepada kejahatan, maka diadakanlah tata tertib untuk mencegah kejadian-kejadian yang buruk itu terulang. Disini beban ‘riabewa’ semakin bertambah banyak dan bertambah berat sehingga semakin banyak dia bertindak sana sini. (Disinilah hukum pidana bermula)

Karena penghuni bertambah banyak, agak sulit mengendalikan keamanan dan kesejahteraan, timbulah perpecahan dan membentuk wilayah lain oleh keturunan yang banyak jumlahnya, dimana satu keturunan yang baru membentuk wilayah baru dengan perkampungan yang baru dengan tata sopan santun dan tata tertib yang diadopsi dari wilayah asalnya sehingga muncul beberapa persekutuan diwilayah Lio yang disebut klen (Clan) . Dengan demikian timbulah tanah persekutuan baru (klen) dengan penguasa adat yang baru dan tata sopan santun serta tata tertib yang lebih berkembang. Untuk tertib, ditetapkan wilayah itu dengan batas-batasnya supaya tidak menimbulkan percekcokan mengenai wilayah hukum untuk masing-masing keturunan yang disebut suku pada waktu sekarang.

Dengan demikian, timbullah rupa-rupa tata tertib yang di sebut undang-undang yang berlaku dalam wilayah hukum dari orang-orang yang serumpun asal-usulnya, yang sekarang yang dikenal dengan nama suku Lio yang berarti sekaum dan sekerabat. Lio sama dengan sekerabat yang dalam bahasa Lio disebut; "Sa Li, sa Ine, sa One"..
Secara garis besar, beginilah asal mula timbulnya hukum dalam masyarakat Lio.

Terimakasih..


Penulis, Marlin Bato
Sumber: Info Lisan serta,
Sumber referensi; Naskah ketikan Bpk. "Leo Wihelmus Misa Wasa"
Wolowaru 14 November 1989
Gambar tersebut adalah Ilustrasi yang diadopsi dari FB sdr. Alex Onenes Hebesani

Komentar :

ada 0 komentar ke “SEJARAH MUNCULNYA HUKUM ADAT LIO KHUSUSNYA-LISE, MBULI DAN NDORI”

Posting Komentar

Silakan anda berkomentar apa saja tentang kabupaten Ende yang tercinta...
KIta membangun bersama

Ola Gare Miu