EKSISTENSI PEMANGKU ADAT LIO

Penulis; Marlin bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Jakarta Indonesia
Sumber; Lisan 

Ende dan Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan yaitu Ende Lio. Meskipun demikian sikap egocentris dalam menyebutkan diri sendiri seperti: Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu. Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende dan Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (teritorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende. Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki, Boge, Hage dan Ria bewa. Struktur kebangsawanan masyarakat Lio dalam beberapa pandangan kadang - kadang sering ditempatkan pada posisi yang keliru sehingga menggelitik rasa ingin tahu penulis terhadap beberapa pandangan tersebut. Inti rasa ingin tahu penulis tentu mengerucut pada; Siapakah Mosalaki, Boge, Hage dan siapakah Ria bewa ? Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan fakta yang benar supaya tidak terjadi anggapan yang keliru dikemudian hari. Menurut Sistem adat Lio, Pemangku adat Lio terdiri atas beberapa klasifikasi gelar kebangsawanan yaitu;

1. Mosalaki

2. Boge

3. Hage

4. Ria Bewa

Dari semua sesepuh adat ini tentu mempunyai tugas dan wewenang masing - masing berdasarkan perjalanan sejarahnya yang menentukan gelar - gelar tersebut sehingga gelar tersebut kerap menjadi julukan untuk menunjukan identitas para pemangku adat Lio.

1. 'Mosalaki', kata ini bermula dari bahasa Lio dan terdiri atas kata Mosa dan Laki. Kata Mosa adalah Satu bentuk kata tunggal yang artinya Jantan Besar, menurut hemat penulis kata ini digolongkan kata tunggal karena kata mosa tidak mengandung makna lain selain jantan besar, sedangkan Laki adalah bentuk kata jamak mempunyai arti luas yaitu;
1. Hak/Memiliki dalam arti mempunyai kekuasaan yang besar, dan
2. Hak/memiliki dalam arti penentuan pilihan pasangan hidup, sehingga Orang Lio berpandangan bahwa untuk mengetahui berapa jumlah istri kepada seseorang lelaki, bisa diketahui melalui jumlah ubun - ubun dikepala laki - laki. Namun demikian, hal ini tidak dapat ditampik mana kala munculnya fenomena pada sosok seseorang mosalaki yang mempunyai istri banyak. Menyingkap kata 'Mosalaki', Secara historis antara Ngada dan Ende Lio serta Palu'e mempunyai tata cara tradisi dan pranata yang hampir sama meskipun ada perbedaan - perbedaan yang jauh lebih mendasar. Hal ini tentu karena dipicu oleh perjalanan sejarah itu sendiri yang mana Orang ende Lio meyakini Seluruh suku didaratan Flores mempunyai leluhur yang sama. Justru yang membuat adanya sedikit perbedaan adalah faktor pengaruh budaya yang datang dari luar. Contohnya Orang Ende Lio menyebut kepala suku sebagai Mosalaki, tetapi orang Bajawa/Ngada menyebutnya Mosadaki atau Mosaraki atau juga Mosalaki sedangkan orang dari pulau Palu'e menyebutnya terbalik yaitu; Lakimosa. Sama halnya dengan suku Ngada dan palu'e tadi, dalam Sistem adat suku Ende Lio, Legitimasi seorang Mosalaki berada dalam posisi puncak tertinggi dan mempunyai kekuasaan yang mutlak atas tanah dan wilayah kedaulatannya (teritorial). Sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; 'Mosa' eo Ka Fara No'o Tana, 'Laki' Eo Pesa Bela No'o Watu', Yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti Mosalaki dapat menyatuhkan diri, duduk dan bersantap bersama Tanah dan Batu. Pengertian (Tana, watu) Tana dan Batu disini dalam perspektif Orang Lio adalah sebagai simbol Penguasa Bumi yaitu 'Nggae Ghale Wena Tana' selain Babo Mamo (nenek moyang) wujud Roh Para Leluhur orang Lio sendiri.

2. (Boge). Boge ria, Boge Bewa: Dalam bahasa Indonesia artinya Gumpalan daging yang Besar dan panjang. Deretan sejarah suku Lio mencatat bahwa Gelar kebangsawanan Boge ria, Boge bewa adalah Sebagai bentuk penghargaan sangat tinggi kepada seorang Tokoh pejuang yang dianggap paling berjasah dan berjiwa patriotis kepada persekutuannya pada saat berperang untuk merebut wilayah dari pihak luar. Gelar ini memang pantas disandang bagi orang yang terlibat langsung dan memenangkan atau bahkan yang gugur dalam medan perang. Sosok orang ini tentu telah menjadi ujung tombak dan memainkan instumen penting selaras dengan strategi dan kekuatan terdasyat yang digunakan untuk memenangkan peperangan. Tentu hal ini juga dimaksudkan agar dapat menjadi momok yang menakutkan kepada pihak lawan. Sehingga, sebagai tanda jasah, mereka dianugerahi bagian tanah dari hasil kemenangan. Selain itu, sebagai bentuk pembuktian atas jasah - jasahnya, pada setiap perhelatan - perhelatan akbar ritus adat Lio, misalnya; Upacara pengukuhan pemangku adat Lio, mereka berhak mendapatkan potongan Daging Babi/kerbau yang sangat besar dan panjang sebagai pengakuan eksistensi mutlak kehadiran sosok patriotis ini.

3. (Hage). Hage Ria, Hage Lo'o, dalam terjemahan harfia bahasa Indonesia adalah Besar seadanya dan kecil seadanya. Selain Boge ria, Boge Bewa, Suku Lio juga mencatat gelar kebangsawanan Hage ria, Hage Lo'o. Tentu gelar ini juga disandang oleh seseorang yang dianggap berjasah kepada Persekutuannya meskipun tidak sebesar jasah Boge Ria, Boge bewa tadi. Walaupun demikian, kehadiran sosok - sosok ini tentu tidak bisa disepelehkan sehingga untuk menghargai jasah - jasahnya, mereka dianugerahi sedikit bagian tanah dari hasil peperangan. Selain itu sama seperti Boge ria, Boge bewa tadi, mereka juga berhak atas potongan daging babi/kerbau meskipun kecil dan seadanya dalam setiap perhelatan ritual pengukuhan pemangku adat Lio. Ini adalah sebagai bentuk pengakuan eksistensi kehadiran sosok para pejuang tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terkadang dalam perhelatan ritual adat, kerap muncul reaksi ekstrim yang luar biasa manakala terjadi kekeliruan dalam pembagian jatah daging. Menurut pandangan penulis, ini bukan hanya sekedar onggokan daging melainkan sebagai simbol pengakuan eksistensi dari Tokoh - Tokoh ini atas jasah - jasahnya.

4. Ria Bewa: Secara harfia kalimat Ria Bewa dapat diartikan besar dan panjang sehingga kalimat ini menjadi rumusan kekuasaan yang besar dan panjang. Akan tetapi kalimat ini terkadang mengecohkan beberapa pandangan yang menjadi keliru sehingga muncul kalimat 'Mosalaki Ria Bewa'. Sebenarnya kalimat Ria Bewa itu berdiri sendiri tidak dapat disandingkan dengan kata mosalaki. Hal ini tentu didasari oleh peran Ria Bewa itu sendiri yakni sebagai Panglima tinggi dan sebagai Juru Bicara pemersatu setiap mosalaki suku Lio sehingga kekuasaan dan perannya sangat Luas. Meski Demikian, Ria Bewa tidak menguasai batas - batas di setiap tana Ulayat pada setiap kekuasan mosalaki. Ini berarti Kekuasaan Ria Bewa hanya bersifat adminisratif kewilayahan sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; 'Ria Tana Iwa, Bewa Watu La'e'. yang berarti Ria Bewa tidak berkuasa atas tana di seluruh wilayah teritoral Mosalaki. Selain itu Ria Bewa juga dapat juga disebut dengan istilah : "Ria to talu rapa sambu no'o ata mangu lau, Bewa to tewa rapa rega no'o ata laja ghawa", yang artinya Ria Bewa berperan sebagai penyambung lida para mosalaki disekitar tanah persekutuan Lio (Lise) dengan orang Luar yang menegaskan bahwa Ria Bewa sebagai juru Bicara tadi. Fakta - fakta ini adalah implikasi dari peranan Ria Bewa itu sendiri. Meski demikian, peran Ria Bewa juga tentu sangat Strategis dalam membangun pilar - pilar persatuan antar para sesepuh adat Lio secara menyeluruh.
Catatan; Dari semua info yang dipaparkan disini, penulis sengaja menyampaikan hanya ringkasan secara umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga etika dalam penyampaian informasi agar tidak terjadi perbedaan presepsi. Terima Kasih...
Sekian,


Komentar :

ada 0 komentar ke “EKSISTENSI PEMANGKU ADAT LIO”

Posting Komentar

Silakan anda berkomentar apa saja tentang kabupaten Ende yang tercinta...
KIta membangun bersama

Ola Gare Miu