Penulis, Marlin Bato (pemerhati budaya)
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Narasumber;
Franz A. Thomas Ire (Makasar)
Marlin Bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Narasumber;
Franz A. Thomas Ire (Makasar)
Marlin Bato
Pada perhelatan akbar ritual adat Mbama, masyarakat Lio mengenal Gawi. Gawi dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga dengan kata, 'TANDAK. Secara harfia kata tandak bermuara pada kata bertandak yang berarti Berkunjung, mengunjungi, menyatukan hati, langkah dan pikiran. Makna inilah yang menjadi dasar untuk menyebut GAWI sebagai TANDAK dari daerah Ende Lio. Sama halnya dengan tandak tadi, dalam tarian gawi pun kita yang terlibat dalam ritual tersebut berkewajiban saling bergandengan tangan, menyatukan hati, hentakan kaki serta mempuyai pikiran yang sama disaat mengikuti tarian tersebut dan tidak boleh melepaskan tangan sampai upacara tarian gawi tersebut selesai. Selain itu, kita hanya dapat melepaskan tangan kita pada saat kita hendak beristirahat. Tarian Gawi adalah satu - satunya tarian khas masyarakat Lio yang tertua dan dipimpin oleh seorang penyair yang ditunjuk para sesepuh adat. Dalam bahasa adat Lio penyair ini dapat disebut 'ATA SODHA'. Uniknya, untuk menjadi seorang penyair, seseorang harus mendapatkan Ilham secara khusus karena penyair (Ata Sodha) tidak boleh membaca teks atau catatan pada saat upacara gawi sedang berlangsung. Ini berarti penyair tersebut harus benar - benar menguasai alur - alur bahasa adat yang di nyanyikan dalam sebuah aliran lagu adat yang dikenal dengan 'SODHA'. Dalam Beberapa ritual adat Mbama, tarian gawi ini kerap diisi dengan 'BHEA' oleh para sesepuh atau dalam hal ini Mosalaki sebagai pemegang tampuk kuasa tertinggi didalam masing - masing wilayah persekutuan Lio. BHEA, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti; Sebuah ungkapan bahasa adat Lio yang bersifat seruan untuk membangkitkan spirit sebagai tanda untuk menunjukan kebesaran, keperkasaan dan kemenangan. Dalam beberapa pandangan GAWI/TANDAK sebenarnya adalah ritual ibadat, dalam agama asli suku Lio. Di sini, sodha menyanyikan sejarah suku dan ajaran - ajaran moral, yang sebenarnya adalah 'Kitab Suci' lisan agama tersebut. Di beberapa tempat dalam persekutuan Lio, pada saat ritual adat GAWI, ATA SODHA mengenakan pakaian wanita (lawo-lambu). Hal ini sudah terjadi secara turun temurun karena ada kecenderungan di berbagai agama asli, bahwa 'pendeta' agama tersebut haruslah orang yang banci/ wadam. Ini menunjukan orang Lio mempunyai ciri khas yang sama dengan Tolotang di Bugis, Aluk di Toraja, atau beberapa agama asli di NTT.
Filosofinya, orang yang banci adalah orang yang paling murni dari masyarakat dan dapat mewakili kedua jenis kelamin, sehingga paling layak mewakili masyarakat dalam berhubungan dengan Dewa. Dalam GAWI, lingkaran penari berbentuk spiral, bukan lingkaran utuh, dan yang lebih unik lagi menyerupai ular. Penari di bagian ekor bergerak paling lincah, selincah ekor ular. Ini melambangkan kepercayaan setempat akan ular besar yang setia menjaga mata air kampung sebagai sumber kehidupan. Jangan heran, kalau orang Lio berperang, mata air adalah tempat yang paling dilindungi. Bentuk lingkaran spiral ini adalah kekhasan GAWI, karena di tempat lain tandak selalu berbentuk lingkaran utuh. Dalam ritual Gawi, wanita selalu berada di posisi luar, bukan di lingkaran dalam. Alasannya karena berdasarkan tradisi orang Lio bahwa orang Lio selalu menganggap laki-laki sebagai ('Dari Nia Pase Lae') Generasi penerus yang harus berdiri di garda terdepan sebagai pelindung dan pengayom kaum wanita. Ini penghormatan kaum perempuan kepada kaum laki-laki sebagai sumber kekuatan dan perlindungan, yang diyakini melindungi wanita. Sebaliknya laki - laki menganggap wanita sebagai sumber kehidupan dan mata air yang harus dilindungi layaknya seekor ular raksasa yang melindungi seluruh rangkaian daratan Flores yang dikenal dengan julukan 'Nusa Nipa'. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kata 'Nusa Nipa' berasal dari bahasa Lio yang berarti Pulau Ular. Salah satu bukti pengakuan orang Lio terhadap Nusa Nipa adalah Pada jaman dulu, orang Lio tidak pernah membunuh ular, bahkan terkadang jika bertemu Ular, orang Lio selalu membentangkan kain selendang sebagai wujud penghormatan. Dari semua rentetan ritual adat orang Lio, Gawi/tandak adalah ritual puncak. Banyak agama asli menggunakan ritual semacam gawi/tandak itu sebagai ibadat puncaknya. Contohnya adalah JingiTiu di Sabu (padhoa), Marapu di Sumba, Aluk to Dolo di Toraja (Ma'badong), bahkan, orang Yahudi ortodoks berdoa dengan cara tersebut di tembok ratapan. Mungkin ini bisa berarti bahwa ritual seperti itu sudah sangat tua sekali usianya, atau bukti bahwa manusia memiliki kecenderungan yang sama dalam menghayati kosmos. Selain itu Masing - masing suku di Flores memiliki ciri musik dan tangga nada khas. Sebagai contoh, suku Lio memiliki tangga nada berciri tritonus, yaitu berjarak empat nada berjarak satu laras berurut, yang tidak ada duanya dengan di tempat lain. Kalau dibunyikan, akan seperti nada fa-sol-la-si, bukan do-re-mi-fa atau sol-la-si-do sebagaimana lazimnya tangga nada diatonik, atau do-mi-fa-sol seperti pentatonik lazim. Sayangnya, irama asli seperti ini hilang begitu saja oleh irama yang lebih populer, seperti dangdut, reggae,dll, yang dibungkus dengan sekedar bahasa daerah sebagai syair. Mungkin, irama asli hanya bisa didengar jika menikmati Gawi di tempat - tempat seperti Jopu, moni, tenda atau Watuneso dalam cakupan luas (lise nggonde ria). Generasi muda perlu dididik kembali untuk mengerti keaslian tersebut sebagai kekayaan kultural, mungkin dengan memasukkan materi musik daerah sebagai mata pelajaran sekolah, atau menggiatkan sanggar - sanggar musik daerah. Bahkan lagu - lagu 'Gawi' yang kini populer lebih berciri slow-rock ketimbang asli Lio. Ini juga terjadi di daerah - daerah lain. Sepertinya, kita lebih suka menikmati musik asing dengan sekedar membungkusnya lewat syair berbahasa daerah, tapi kehilangan jati-diri musik pribumi. Komponis yang setia menjaga keaslian irama sepertinya tidak ada. Sebagai generasi Flores, anda ditantang untuk menggunakan kembali musik aslinya. Jika tidak, musik khas Flores tidak akan pernah ada. Menurut pandangan seorang Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) mengakui bahwa orang Flores mempunyai ciri khas musik yang sangat unik dari etnis mana pun di seluruh pelosok nusantara. Yang menjadi pertanyaan sekarang; Mengapa orang Flores sendiri tidak bisa mempertahankan nilai - nilai luhur yang sudah di wariskan ?
Komentar :
Posting Komentar
Silakan anda berkomentar apa saja tentang kabupaten Ende yang tercinta...
KIta membangun bersama