Bung Karno Seniman Teater

Bung Karno Seniman Teater
Walentina Waluyanti – Holland

Soekarno remaja menyumpal dadanya dengan dua potong roti manis. Nah, sekarang dua potong roti itu disulapnya menjadi payudara palsu yang nemplok di dadanya. Dengan bedak, lipstick dan gaun yang dikenakannya, sekarang dirinya tampak bak gadis jelita. “Untung saja di adegan itu aku tidak perlu mencium laki-laki”, kenang Bung Karno.

Masih lekat di ingatannya tentang pentas tonil yang sering diadakannya dengan teman sekolahnya. Di jaman itu belum banyak perempuan yang bersekolah. Karena itu Soekarno remaja sering terpilih memerankan wanita di setiap pentas tonil. Itu karena wajah remajanya yang karena begitu tampannya, hingga terkesan ayu seperti perempuan.
Dari serangkaian pertunjukan di panggung tonil itu, Soekarno remaja termotivasi oleh komentar-komentar bahwa dia punya bakat untuk tampil di depan umum. Dari situlah titik tolak mulainya tumbuh rasa percaya dirinya untuk meyakinkan massa melalui pidato-pidatonya. Setelah pertunjukan tonil itu, dia mulai berani tampil dengan pidatonya yang pertama di depan sebuah studie-club. Ketika itu usianya masih 16 tahun.

Oh ya, bagaimana nasib roti manis yang disumpal di dadanya tadi? Soekarno  ABG tidak mau membuang-buang uangnya begitu saja hanya untuk sebuah...eh dua buah payudara palsu. Jadi begitu pentas usai, dia tak perlu menunggu lama-lama. Roti itu langsung disikatnya ludes.

Bung Karno memang bukan cuma seorang pemikir dan negarawan. Dia juga dikenal sebagai seniman. Kita sudah banyak mendengar bakat lukis Soekarno. Kesenimanan Soekarno yang lain juga tampak di bidang teater. Bukan cuma sekedar pemain tonil. Bung Karno juga beberapa kali menjadi sutradara drama dan punya perkumpulan sandiwara.

Selain itu tercatat sejumlah naskah drama yang telah ditulisnya. Di pengasingannya di Ende dan Bengkulu, Bung Karno menulis beberapa naskah dan mementaskan pertunjukan drama. Dia tidak saja bertindak sebagai penulis naskah, tapi juga sebagai sutradara, memilih dan melatih pemain, mendekorasi panggung, sekaligus sebagai manajer dan marketing pertunjukan itu.

Penulisan naskah dan pertunjukan tonil yang diolahnya itu bukan sekedar untuk mengisi waktu luang karena hidup sebagai tahanan. Tapi memang Soekarno selalu berusaha menularkan ide-ide perjuangannya kepada rakyat, di manapun dia berada. Ide-ide kemerdekaan dan kepahlawanan itu ditularkannya melalui simbolisasi cerita-cerita dan pertunjukan tonil yang dipentaskannya.
Ketika Soekarno dibuang di Ende Flores, di jaman itu belum ada bioskop. Sehingga pertunjukan tonil Soekarno yang diadakan di pastoran di paroki Santa Maria Imaculata selalu dipadati pengunjung. Nama grup teater Bung Karno itu diberi nama oleh Ibu Inggit. Namanya toneel-club Kelimutu. Ibu Inggit memberi nama itu sesuai dengan nama danau tiga warna di Flores, danau Kelimutu. Karena Ibu Inggit sangat sering mengunjungi danau itu dengan Ratna Djuami, anak angkatnya bersama Asmara Hadi, guru bahasa Inggris Ratna (kelak menjadi suami Ratna Djuami).


Rumah pengasingan Bung Karno di Ende Flores


Patut dicatat, Soekarno leluasa mengadakan pertunjukan di paroki yang berada satu kompleks dengan gereja Katolik itu, tak terlepas dari jasa seorang pastor Belanda, yaitu Pastor Huijtink. Dengan pastor ini Bung Karno bisa menghilangkan rasa frustrasinya selama berada di pengasingan. Sebelum diasingkan dia memang biasa berdebat dengan lawan diskusi sepadan, yaitu dengan para pemikir dan pemimpin perjuangan.

Tapi setelah di Ende, dia kehilangan teman-teman berdiskusi. Padahal diskusi selalu dibutuhkannya untuk tetap mengasah ide dan pemikirannya. Nah, dengan pastor Huijtink yang dinilainya bisa mengimbanginya itu, Bung Karno ketemu lawan diskusi yang gayeng.

Ada yang mencengangkan dari salah satu naskah tonil Bung Karno. Di satu naskah drama bertitel 1945 yang ditulisnya, Bung Karno seakan punya indra keenam. Karena di naskah itu dia sudah menulis kisah tentang Indonesia merdeka Agustus 1945. Padahal naskah itu ditulis sekitar tahun 1930-an.

Mimpi Soekarno tentang kemerdekaan tampaknya sudah menjadi obsesi di alam bawah sadarnya. Sebuah mimpi mulia yang tidak berhenti diperjuangkan, pada dasarnya adalah sebuah doa. Dan doa yang dilandasi tujuan luhur, dipercaya oleh setiap orang beriman, akan membuat doa itu terkabul.

Biarpun tumbuh sebagai Islam abangan, tapi Bung Karno itu religius. Sayangnya di masa Orde Baru,  ada usaha menggiring opini publik. Yaitu Soekarno dikonotasikan dengan segala yang berbau komunisme. Gagasannya tentang Nasakom dan paham Marxisme yang mewarnai pemikirannya telah secara naif dan hantam kromo diberi label “komunis”. Kalau sudah begini, orang menjadi takut ngomong tentang Bung Karno. Siapa yang berani melawan tangan besi Orde Baru kalau sudah terkena cap komunis? Cap ini terkenal sebagai senjata pembunuhan karakter paling ampuh di masa pemerintahan Orde Baru.



Salah satu naskah drama Bung Karno yang berisi obsesinya tentang kemerdekaan Indonesia, adalah naskah berjudul “Dokter Setan”. Naskah ini diilhami oleh film Frankestein yang ketika itu sedang ngetop. Kisah itu bercerita tentang Dokter Marzuki yang mampu membangkitkan mayat dengan menggunakan mesin. Mayat itu disimbolkan oleh Soekarno sebagai Indonesia yang sedang berusaha dibangkitkan dari mati surinya. Metafora yang cocok dengan apa yang diperjuangkannya.

Tercatat sebanyak 12 naskah drama yang dibuatnya selama masa pembuangannya di Ende. Naskah-naskah itu tergolong sebagai situs Bung Karno.  Disayangkan belum ada pengelolaan yang baik terhadap situs Bung Karno. Karena delapan di antara naskah itu dinyatakan hilang. Di antaranya naskah Dokter Setan tadi. Naskah lainnya yang dinyatakan hilang yaitu, Rahasia Kelimutu, Rendo, Jula Gubi, KutKutbi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dinamit.

Di pembuangannya di Bengkulu, Bung Karno juga mendirikan perkumpulan sandiwara Monte Carlo. Sampai sekarang di bekas rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu masih bisa dilihat lemari berisi beberapa properti perkumpulan tonil peninggalan Bung Karno, misalnya layar panggung dan kostum pemain.


Bung Karno di masa pembuangan

 
Bung Karno dan Ibu Inggit di masa pembuanga di Bengkulu


Bung Karno sangat serius mengelola perkumpulan sandiwaranya. Dia sangat memperhatikan semua unsur dramaturgi dalam setiap pertunjukannya. Setting, lighting, rias, kostum, bahkan pamflet yang bisa merangsang orang membeli karcis masuk, dibuatnya semenarik mungkin. Pernah juga ditulis, tentang bagaimana sebelum pentas Bung Karno mengarak para pemain tonil (juga pakai peran primadona) dengan mobil sewaan keliling kota, untuk membuat penonton semakin penasaran.

Dalam setiap naskahnya, selalu ada pesan moral yang ingin disampaikan Bung Karno. Misalnya dalam naskah “Rainbow”, yang disusunnya di Bengkulu. Di situ Bung Karno menekankan pentingnya suatu bangsa mempelajari sejarah agar bisa menata masa depan. Di kemudian hari kita mengenal ungkapan Bung Karno yang terkenal yaitu Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).

Pemahaman Bung Karno tentang dramaturgi, sedikit banyak mempengaruhi caranya mempresentasikan diri di pentas politik. Dia sadar benar, bahwa lampu sorot mengarah padanya sebagai pemimpin bangsa. Karena itu dia tahu betul bagaimana memukau publik. Baik dari segi bobot pidato, mimik wajah, bahasa tubuh, semuanya mampu dipersembahkannya dengan brilyan.



Pemilihan kostumnya sebagai presiden (plus tongkat komando) adalah hasil rancangan Bung Karno sendiri. Walau bukan militer, busana bergaya militer menjadi pilihannya. Wajah terangkat, dada tegap, cara berbicara  penuh percaya diri, semua yang ditampilkannya nampak bagai presentasi unsur-unsur dramaturgi. Semua itu terasa dengan sadar ditampilkannya untuk memberi citra  “harga diri” sebagai bangsa yang merdeka. Sekaligus ingin mengikis habis mental rendah diri yang masih tertanam di jutaan rakyatnya.

Penampilannya secara keseluruhan seakan kompensasi dari kemarahannya yang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bangsanya ditindas dan dihisap oleh kolonialisme selama ratusan tahun dan akhirnya menjadi lembek seperti “bangsa tempe” (ini istilah Bung Karno sendiri).

Penampilan Bung Karno di panggung politik semakin memukau juga karena ditunjang bakat alamnya. Yaitu kharismanya, kejeniusan- nya, bakat kepemimpi- nan disertai semangat perjuangan membara yang tampak dari sinar matanya bagai api menyala-nyala. Sinar matanya mampu menyihir jutaan rakyat untuk bangkit menolak penindasan kolonialisme.

Jangan sekal-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Karena itu sangat sayang jika naskah-naskah drama Bung Karno yang bernilai historis tinggi terkesan kurang dipublikasikan ke generasi muda. Naskah drama import, Macbeth dan King Lear karya William Shakespeare bisa menjadi legenda dan juga dikenal luas di Indonesia. Mengherankan, naskah-naskah tonil tokoh sepenting Bung Karno malah belum ada tanda-tanda akan dipublikasikan. Yang kedengaran malah “hasil pertapaan” Bung Karno selama di pengasingan itu hilang. Arsip sepenting itu kok bisa hilang?

Jika suatu bangsa kehilangan terlalu banyak mata rantai sejarah, maka bangsa itu akan kehilangan navigasi untuk mencari arah yang tepat. Selama lebih dari 30 tahun kita sudah terlalu sering dijejali sisi negatif Soekarno. Kita tidak perlu memuja Soekarno secara berlebihan, sehingga menjadi pemuja fanatik yang tidak bisa lagi menilai secara obyektif. Sebaliknya kita juga tidak perlu begitu tinggi hati sehingga “buang muka” terhadap sisi positif seseorang. Menempatkan sisi kepahlawanan seorang tokoh secara proporsional akan menghindarkan sikap pemujaan kultus individu.

Sesungguhnya sejarah tidak memberi pelajaran muluk-muluk tentang arti kehidupan. Karena sejarah yang tidak ditutup-tutupi adalah pelajaran kehidupan itu sendiri.

Walentina Waluyanti

Nederland, 19 Februari 2010

1 komentar:

Silakan anda berkomentar apa saja tentang kabupaten Ende yang tercinta...
KIta membangun bersama

Ola Gare Miu